Senin, 22 Juni 2009

Aqidah kuat, Bangsa Hebat

Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa pondasi merupakan perkara yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali mereka adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.

Yang kita bicarakan bukanlah sekedar semangat tanpa ilmu ataupun gerakan yang tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun yang sedang kita perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang membangun segala aktifitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman salafush shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang terlontar dari lisan mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Raja Yang Menguasai kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang melandasi langkah-langkahnya dengan niat ikhlas dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saudara-saudaraku sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan kekuatan iman laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda Kahfi yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut kita teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Kami mengisahkan cerita mereka kepada kamu dengan benar, sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. al-Kahfi [18] : 13).

Sebagaimana pula di hari kiamat nanti Allah akan memberikan naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam aktifitas ibadah kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kebangkitan para pemuda dari berbagai belahan dunia untuk membela agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai pemandu perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa perhitungan yang matang, membabi buta dan serampangan. Maka muncullah berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan, gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi yaitu para ulama.

Saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang kita dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat, perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama, karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua, kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu senangi akan tetapi Allah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).

Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya, “Asas segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya segala keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya dan tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon kepada-Nya agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan juga mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya adalah karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat bahwa segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan pertolongan dari-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).

Sesungguhnya perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana. Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan Allah menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan manusia yang pernah hidup di jagad raya ini. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ

“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba. Dan Allah dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk membela agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, dihasankan al-Albani dalam Takhrij at-Thahawiyah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah bukanlah karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki. Akan tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu hanya baik dari sisi lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga telah menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan dalam hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk hatinya. Allah ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. al-Hajj [22] : 32).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah adalah perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/310).

Nah, bagaimana mungkin akan kita katakan bahwa para sahabat yang tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk untuk berkurban; mereka pun rela menyumbangkan apa saja yang mereka punyai demi dakwah Islam, bahkan di antara mereka ada yang rela menyerahkan tubuhnya sendiri untuk menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak panah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran, apakah akan kita katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang berperilaku laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali menjadi kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim).

Apakah yang membedakan tubuh kita dengan tubuh para sahabat? Mereka punya kaki, tangan dan indera sebagaimana yang kita miliki. Mereka mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun mengeluarkannya. Mereka mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti mereka. Mereka makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum. Namun, ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat. Mereka memiliki keimanan laksana gunung. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman segenap penduduk bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat daripada timbangan iman mereka.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik, dan ilmu mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah akhlak dan jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, dilemahkan al-Albani dalam Takhrij al-Misykat).

Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian sangat sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal bagi kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menganggapnya termasuk perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari). Lihatlah para sahabat dengan segenap kemuliaan yang mereka sandang -di antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan seribu empat ratus lebih orang yang dijamin masuk surga- ternyata hati mereka sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.” Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan mudah mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan sebagian kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan enteng meninggalkan perkara sunnah, yang dengan santai menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih perkara yang lebih utama. Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit dengan bumi!

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat. Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat hati-hati bergetar dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati yang bergetar ketika disebutkan tentang kebesaran Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hati mereka bergetar (takut), dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka iman mereka bertambah. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal [8] : 2).

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam meraih kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala kemampuan yang ada untuk bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun polularitas. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. al-Hujurat [49] : 13). Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…” (HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…” (HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…” (HR. Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin beramal sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa pahala-pahala mereka. Padahal mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!

Para sahabat adalah orang-orang yang menunjung tinggi sabda-sabda dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, namun kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar berkata lain!” (HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian orang pada masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada lagi yang berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang keabsahannya- sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga mereka mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan. Ada pula orang-orang yang tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum muslimin, kekhilafahan, daulah, dan ketenteraman seperti apakah yang kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan dengan kerancuan pemikiran dan penyimpangan manhaj semacam ini?!

Para sahabat adalah orang-orang yang mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak, tanpa menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya tentang makna istiwa’ Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang caranya adalah bid’ah.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah).

Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan keberhasilan yang digapai oleh para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya pedang mereka, keberanian mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota badan.

Maka sekarang kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing : Di tengah derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak, perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku aqidah yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid dan lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian dia gunakan untuk menyadarkan hati-hati kaum muslimin dari tidur panjang mereka, membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini (al-Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya karenanya.” (HR. Muslim).

Apakah sekarang -di negeri ini- kita bisa memimpikan berdirinya sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja banyak sekali di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai dengan syari’at -terlebih khusus kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa mengangankan tegaknya daulah Islam apabila ternyata di tengah-tengah kita pornografi, kesyirikan, kebid’ahan, perbuatan keji dan kemaksiatan dikerjakan dengan terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan, padahal di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan sarana? Apakah kita sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan kehidupan yang tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam dan mengobrak-abrik pondasi-pondasi agama berkeliaran dan mengumbar racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat : Mereka bela mati-matian aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka mengatakan kepada kita : Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)!

Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak tersadar bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat lagi menyimpang. Adakah seorang muslim yang mengatakan bahwa orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah sebagai orang yang berakhlak? Di manakah letak kemuliaan akhlak pada diri orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di manakah letak sikap rendah hati pada diri orang yang mengatakan bahwa keyakinan bahwa Islam sudah sempurna merupakan salah satu bentuk kemalasan berpikir?

Selasa, 03 Juni 2008

Nasionalisme

Dinamika perjuangan kaum cendekiawan Indonesia memperoleh momentumnya setelah Perang Dunia Pertama, tahun 1918. bukan saja gerakan kaum cendekiawan Indonesia tersebut mulai mendapat perhatian internasional, perkembangan dunia intenasional itu sendiri juga semakin menarik perhatian kaum cendekiawan Indonesia. Di berbagai bagian dunia sudah berlangsung perubahan-perubahan sosial politik yang drastis, yang akan mempengaruhi struktur politik internasional puluhan tahun kemudian.

Selain dimulainya berbagai upaya mewujudkan perdamaian dunia, seperti berdirinya Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa dan gerakan Swadeshi dan Swaraj di India, juga telah timbul berbagai gejolak dan gerakan revolusioner berupa gerakan radikal komunisme, pergolakan politik dalam negeri Tiongkok, serta dilancarkannya politik luar negeri yang agresif oleh kekaisaran Jepang terhadap negara-negara tetangganya. Segala perubahan ini diikuti secara cermat oleh berbagai tokoh cendekiawan muda Indonesia, baik yang sedang belajar di dalam negeri, seperti Soekarno, maupun yang melanjutkan studi di luar negeri, terutama di Belanda, seperti Mohammad Hatta.

Soekarno dan Hatta serta rekan-rekannya dalam dua puluhan memlopori gerakan nasionalis dengan tujuan mengembangkan perasaan nasionalisme bangsa Indonesia secara keseluruhan sebagai satu kesatuan baru, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, atau agama, yang memang merupakan ciri khas masyarakat yang majemuk. Dengan rintisan geraksn nasionalis itu mulai berproseslah pembangunan pembangunan bangsa (nation building) dengan karakter yang khas (character building).

Gerakan kebangsaan itu memerlukan lambang. Bersama dengan rekan-rekan mereka lainnya, Soekarno dan Hatta tertarik dengan istilah Indonesia, yang secara simbolik dipandang mempu menyatukan bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu. Semula, istilah Indonesia hanya merupakan istilah teknis etnologi dan antropologi. Golongan intelektual Indonesia telah memberi arti baru dalam kata tersebut, dengan memberi muatan wawasan kebangsaan, yang mencita-citakan kesatuan politik baru untuk seluruh masyarakat yang mendiami Kepulauan Indonesia. Tidaklah mengherankan bahwa kedua istilah politik ini dilarang dipergunakan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kesadaran tentang arti “Indonesia” dan “orang-orang Indonesia” mencapai puncaknya dalam Sumpah Pemuda, yang berwujud pengakuan terhadap satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Sumpah Pemuda yang diikrarkan sebagai suatu perjanjian luhur dalam Konggres Pemuda Indonesia yang Kedua, tanggal 26-28 Okober 1928 itu, sesungguhnya dapat dipandang sebagai embrio dari Sumpah Bangsa.

Nyatanya nasionalisme yamg diperjuangkan Bangsa Indonesia tidak sesuai dengan apa yang diharapakan. Nasionalisme tidak lagi diperjuangkan, tidak pula “dibuang”. Apa yang menjadi cita-cita bangsa pun belum sempat tercapai, sejak manusia Indonesia tidak paduli lagi akan bangsa dan harga diri. Kemanusiaan dan keadilan yang didamba-dambakan Bangsa Indonesia belum mencapai tahap memenuhi dan memuaskan. Sulit memeng hendak menyalahkan siapa jika begini. Bukan lagi menyalahkan siapa, siapa yang salah dan siapa yang harus bertangunga jawab, semua harus bertanggung jawab. Tapi, sekarang ini bukan berusaha bersama-sama, tetapi mereka hanya menuntut dan menuntut kepada Pemerintah agar bertanggung jawab atas semua ini. Agar Pemerintah bisa memenuhi semua permintaan rakyat, bagaimanapun caranya. Seolah-olah semua ini adalah kesalahan Pemerintah, tapi apa semua bisa selesai dengan pengklaiman seperti itu? Dengan menyalahkan salah satu pihak saja? Dan mau rakyat hanya tinggal menikmati hasilnya.

Menurut saya, ini semua adalah salah kita semua, bagaimana mungkin kesejahteraan, keadilan, dan kemanusiaan yang kita impikan, dengan hanya mengandalkan salah satu pihak saja (Pemerintah-red).

Misalnya, untuk mengentas kmiskinan. Pemerintah telah berusaha agar kemiskinan bisa segera berakhir, dari sisi negara kita. Tapi, kenyataannya kemiskinan belum juga “pergi” dari negara ini, mungkin semakin bertambah. Lalu apa yang kita lakukan? Adakah usaha untuk mengurangi beban ini? Saya rasa selama ini kita terlalu dan hanya mengandalkan Pemerintah, semua yang terjadi di negara kita ini adalah tanggung jawab kita semua, yang hidup di dalamnya, Bangsa Indonesia. Tanpa dorongan dan bantuan serta kerja sama dari semua pihak menalah mungkin masalah bisa terselesaikan. Menurut saya, jika Pemerintah telah melaksanakan tugasnya dalam mengentas kemiskinan ini, jika memang mental rakyat kita memang mental miskin, tentu sulit mengangkat derajat bangsa ini. Coba saja, manalah ada orang yang bangga (di Negara lain-red) dengan pekerjaan sebagai pengemis. Tapi, rupanya pengemis-pengemis di negara kita ini cukup bangga dengan “pekerjaannya” tersebut. Bagaimana tidak disebut bangga, jika mereka bisa berkata: dengan mengemis pun saya sudah bisa menghidupi saya dan keluarga saya. Begitu? Terlalu apatis saya rasa. Jika dengan kenyataan yang seperti itu, saya rasa Pemerintah membutuhkan kerja yang sungguh-sungguh keras, itu pun dalam satu hal ini saja. Pemerintah tidak memanjakan rakyat kita ini. Belum lagi masalah keadilan yang lain.

Dengan berbekal penghayatan dan pengamalan Pancasila secara ikhlas dan taat asas oleh setiap manusia Indonesia, gerak pembangunan yang kita lakukan bersama-sama akan berjalan lurus dan tiba dengan selamat di tujuannya. Unsur manusia dalam pembangunan ini sangat penting sebab manusia adalah pelaku, tolok ukur, dan sekaligus tujuan pembangunan. Karena Pancasila adalah dasar tujuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, setiap gerak, arah, dan cara kita melaksanakan pembangunan juga harus senantiasa dijiwai oleh Pancasila. Pembangunan bukan saja harus mendatangkan kemakmuran, tetapi juga harus menjamin keadilan sosial, bukan saja mencakup bidang-bidang kebendaan lahiriah, tetapi juga keseimbangannya dengan bidang kejiwaan rohaniah, bukan hanya berkembang di sesuatu daerah, melainkan harus merata di seluruh wilayah Tanah air. Cara melaksanakan pembangunan harus menjunjung tinggi martabat manusia.

Setiap usaha pembangunan bangsa seperti yang berlangsung di Indonesia memerlukan keikutsertaan setiap warga masyarakat dan seluruh bangsa dalam menyumbangkan tenaga dan pikirannya, ilmu pengetahuan dan ketrampilannya, serta keahlian dan kemampuannya. Namun, semua itu belumlah cukup untuk mencapai sasaran jika tidak didorong dan dituntun oleh pandangan hidup bangsa kita yang luhur. Di tangan orang yang tidak bertanggung jawab modal dan akal dapat membahayakan manusia dan masyarakat. Karena itu, watak dan akal dapat membahayakan manusia dan masyarakat. Maka, watak dan moral harus selalu berjalan di depan, membimbing dan memberi arah kepada segala kemampuan yang dikerahkan dalam melaksanakan pembangunan. Bangsa Indonesia yang telah memilih Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara perlu terus menyadari bahwa Pancasila harus tetap menjadi moral perjuangan bangsa kita dalam mencapai sasaran pembangunan. Sebagai moral perjuangan, Pancasila bukan saja berperan sebagai nilai pengukur bagi tujuan dan baik buruknya kebijakan pembangunan di semua bidang, tetapi sekaligus juga sebagai nilai pengukur bagi proses dan cara dalam melaksanakan pembangunan tersebut. Pancasila sebagai moral perjuangan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional perlu diresapi agar menjadi sumber inspirasi perjuangan, penggerak, dan pendorong pembangunan, pengarah, dan sumber cita-cita pembangunan, sumber ketahanan nasional, dan pembimbing moral pada tingkatan operasional sampai ke unit terkecil pun dalam pembangunan nasional kita itu.

Republik Indonesia lahir sebagai hasil perjuangan bangsa melawan penjajahan. Dari hasil perjuangan kemerdekaan tersebut dibentuklah pemerintah negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila juga merupakan suatu hasil perjuangan yang sekaligus menjadi sumber inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia yang membangun suatu negara yang sanggup melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Cita-cita dan tujuan tersebut hanya bisa terwujud apabila seluruh bangsa Indonesia tetap menjadikan Pancasila sebagai sumber inspirasi bagi perjuangan pembangunan selanjutnya.

Pancasila yang bulat dan utuh memberi keyakinan kepada bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai melalui suatu pembangunan nasional, yang bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata lahiriah dan batiniah berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan itu, setelah berhasil menciptakan stabilitas nasional baik di bidang ekonomi maupun politik, maka bangsa Indonesia mulai melaksanakan pembangunan berencana, bertahap, terarah, terpadu, menyeluruh, dan terus-menerus.

Semua usaha dan perjuangan itu hanya akan terwujud apabila seluruh bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai kekuatan pendorong dan penggerak pembangunan nasional.

Pendapat saya, pembangunan yang sesuai dengan Pancasila saat kita telah dapat menjiwai Pancasila. Bukan berarti kemudian kita menjadi berpandangan tertutup (close minded). Lagipula Pancasila bukanlah pandangan hidup yang tertutup. Setidaknya dengan keyaknan akan Pancasila, kita bisa mencapai hal yang didambakan sesuai dengan Pancasila.

Pancasila Sebagai Idilogi Terbuka

I.PENDAHULUAN

Apakah sesungguhnya Pancasila itu ? Adanya kekurang pastian mengenai arti sesungguhnya Pancasila terlihat yaitu ada yang menterjemahkan sebagai filsafat, filsafat negara, filsafat nasional, ajaran Bung Karno dan apakah juga tepat jika diperingati tiap 1 Juni ?. Dikarenakan pada tanggal tersebut, pada tahun 1945 yang lalu dalam rapat Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai Ir. Soekarno mengemukakan ide pikirannya yang lima dasar itu ?. Apakah bukan Mr. M. Yamin yang seharusnya kita sebut sebagai penemu Pancasila ?. Terlepas dari polemik diatas, Pancasila sebagai dasar negara telah banyak mengalami lika-liku sebagai suatu Staatside bangsa yang besar ini. Sebagai inti dari jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang sejak ratusan tahun telah ada dan sempat tenggelam selama 350 tahun akibat penjajahan.
Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Pembukaaan UUD 1945 dalam perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mengalami persepsi dan interpretasi sesuai dengan kepentingan zaman, yaitu sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Pancasila telah digunakan sebagai alat untuk memaksa rakyat setia kepada pemerintah yang berkuasa dengan menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan asas lain, walaupun tidak bertentangan dengan Pancasila. Sehingga contohnya secara nyata pada era reformasi ini setelah rezim Soeharto jatuh maka Pancasila ikut jatuh dan tenggelam. Dikarenakan teori politik Pancasila kita tidak sesuai dengan teori politik secara umum. Bahkan sekarang pun (2004) saat Megawati berkuasa tidak ada cahaya sedikit pun dari Pancasila kita.
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Ideologi adalah gabungan dari dua kata eidos dan logos yang secara sederhana berarti suatu gagasan yang berdasarkan pemikiran yang sedalam-dalamnya dan merupakan pemikiran filsafat. Dalam arti kata luas atau terbuka istilah ideologi dipergunakan untuk seluruh kelompok cita-cita, nilai - nilai dasar dan keyakinan -keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif.
Ideologi juga diartikan sebagai ilmu, doktrin atau teori yang diyakini kebenarannya, yang disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaannya. Suatu pandangan hidup akan meningkat menjadi falsafah hidup apabila telah mendapat landasan berfikir maupun motivasi yang lebih jelas. Sedangkan kristalisasinya kemudian membentuk suatu ideologi.


II.PERMASALAHAN

Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, yaitu cara berpikir dan cara kerja perjuangan. Pancasila perlu dipahami dengan latar belakang konstitusi proklamasi atau hukum dasar kehidupan berbangasa, bernegara dan bermasyarakat yaitu Preambule, Batang Tubuh serta Penjelasan UUD 1945.
Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, recht dan negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
Pancasila bersifat integralistik, yaitu paham tentang hakikat negara yang dilandasi dengan konsep kehidupan bernegara. Pancasila yang melandasi kehidupan bernegara menurut Dr. Soepomo adalah dalam kerangka negara integralistik, untuk membedakan dari paham-paham yang digunakan oleh pemikir kenegaraan lain. Masih cocokkah pandangan integralistik ini ?.
Pancasila seperti ideologi dunia lainnya terlebih dahulu lahir sebagai pemikiran filosofis, yang kemudian dituangkan dalam rumusan ideologi dan setelahnya baru diwujudkan dalam konsep-konsep politik. Jangka waktu tersebut bisa puluhan bahkan ratusan tahun. Proses yang dilalui Pancasila sedikit berbeda karena belum ada konsep masa depan atau tujuan yang hendak dicapai.
Era reformasi sebagai era pembaharuan di segala bidang, menuntut kita untuk berbuat lebih baik, lebih arif dan bijaksana. Dan pemahaman akan interpretasi Pancasila sekarang ini sudah berbeda jauh dari zaman orde lama maupun orde baru. Timbul pertanyaan ? Apakah Pancasila memang pantas dianggap sebagai ideologi terbuka ?. Masih sesuaikah ? bertitik tolak dari pertanyaan tersebut marilah kita kaji Relevansi Ideologi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka di Jaman Reformasi ini.

III.PEMBAHASAN

1.ARTI IDEOLOGI TERBUKA
Ciri khas ideologi terbuka ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri. Dasarnya dari konsensus masyarakat, tidak diciptakan oleh negara, melainkan ditemukan dalam masyarakatnya sendiri. Oleh sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari semua rakyat dan masyarakat dapat menemukan dirinya di dalamnya. Ideologi terbuka bukan hanya dapat dibenarkan melainkan dibutuhkan. Nilai-nilai dasar menurut pandangan negara modern bahwa negara modern hidup dari nilai-nilai dan sikap-sikap dasarnya.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan, “... terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya dan mencabutnya“.
Selanjutnya dinyatakan, “... yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan“. Sehingga Hatta pernah berpendapat bahwa elite bangsa sendiri akan bisa lebih kejam daripada penjajah bila tidak dikontrol dengan demokrasi. Apakah di Indonesia sudah berjalan demokrasi yang kita dambakan ?.
Suatu ideologi yang wajar ialah bersumber dan berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah hidup bangsa. Dengan demikian, ideologi tersebut akan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kecerdasan kehidupan bangsa. Hal ini adalah suatu prasyarat bagi suatu ideologi. Berbeda halnya dengan ideologi yang diimpor, yang akan bersifat tidak wajar (artifisial) dan sedikit banyak memerlukan pemaksaan oleh sekelompok kecil manusia (minoritas) yang mengimpor ideologi tersebut. Dengan demikian, ideologi tersebut menjadi bersifat tertutup.
Pancasila berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa, sehingga memenuhi prasyarat sebagai suatu ideologi terbuka. Sekalipun suatu ideologi itu bersifat terbuka, tidak berarti bahwa keterbukaannya adalah sebegitu rupa sehingga dapat memusnahkan atau meniadakan ideologi itu sendiri, yang merupakan suatu yang tidak logis. Suatu ideologi sebagai suatu rangkuman gagasan-gagasan dasar yang terpadu dan bulat tanpa kontradiksi atau saling bertentangan dalam aspek-aspeknya. Pada hakikatnya berupa suatu tata nilai, dimana nilai dapat kita rumuskan sebagai hal ikhwal buruk baiknya sesuatu. Yang dalam hal ini ialah apa yang dicita-citakan.

2.FAKTOR PENDORONG KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA
Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut :
a.Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat.
b.Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku dikarenakan cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
c.Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
d.Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai keadaan dan nilai praktis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma - norma dasar Pancasila yang terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh berubah atau diubah. Karena itu adalah pilihan dan hasil konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental (Staatsfundamentealnorm). Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
Kebenaran pola pikir seperti yang terurai di atas adalah sesuai dengan ideologi yang memiliki tiga dimensi penting yaitu Dimensi Realitas, Dimensi Idealisme dan Dimensi Fleksibilitas.

3.BATAS-BATAS KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA
Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut :
a.Stabilitas nasional yang dinamis.
b.Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme dan komunisme.
c.Mencegah berkembangnya paham liberal.
d.Larangan terhadap pandangan ekstrim yang mengelisahkan kehidupan masyarakat.
e.Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.


IV.PENUTUP

B.KESIMPULAN
Dari penjabaran pemahaman kerangka berfikir terhadap Pancasila ditinjau dari segi Ideologi Terbuka diatas, patutlah kiranya diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, recht dan negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.
2.Pancasila merupakan nilai dan cita bangsa Indonesia yang tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat kita sendiri.
3.Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945.
4.Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern.
5. Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
6. Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak boleh dilanggar.
Sehingga ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sebenarnya sangat relevan dengan suasana pemikiran di alam reformasi ini yang menuntuk transparansi di segala bidang namun masih tetap menjunjung kaidah nilai dan norma kita sebagai bangsa timur yang beradab. Namun dalam kenyatannya di masyarakat masih ada yang berfikir seperti orde lama atau orde baru dikarenakan masih kuatnya doktrin dari penguasa terdahulu, bahkan tidak sedikit yang acuh terhadapnya.

B. SARAN
Sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, recht dan negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia yang digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat kita sendiri. Alangkah baiknya jika masih tetap menggunakan dan mempertahankannya sebagai nilai dasar sebagai ciri khas kita sebagai suatu bangsa. Tanpa takut untuk mengembangkannya secara dimamis sesuai dengan perkembangan jaman.

DAFTAR PUSTAKA
Kartohadiprodjo, S. 1986. Pancasila dan/ dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bina Cipta. Bandung.
Syarbaini, S. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Aman, S. 1997. Filsafat Pancasila. ( Dalam Koleksi Pribadi Penulis : Kumpulan Biografi dan Pidato para Maestro Bangsa Indonesia).

Pancasila Sebagai Teks Kenegaraan

PANCASILA SEBAGAI TEKS KENEGARAAN PDF Print E-mail

Pancasila adalah teks kenegaraan bagi bangsa Indonesia, sebab rumusan sila-sila yang terdapat di dalamnya secara konstitusional dipandang sebagai dasar falsafah atau landasan ideologi negara Republik Indonesia. Karena merupakan teks penting kenegaraan, ia sekaligus merupakan wacana ? bahan bacaan dan perbincangan bangsa Indonesia dalam membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kehidupan, negara, bangsa, tanah air dan sejarah yang dijalani bangsa Indonesia baik sejak awal kemerdekaan hingga kini.

Tetapi sebagai teks, rumusan-rumusan dalam dasar falsafah negara kita ini, selalu terbuka kepada berbagai penafsiran. Itulah yang terjadi dalam sejarahnya. Pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang disebut ?pancasilais? tidak sama dengan penyebutan yang dimaksudkan selama pemerintahan Orde Baru (1967-1998). Para pendiri republik ini yang dipandang paling bertanggung jawab terhadap Pancasila memberikan penafsiran yang relatif berbeda berkenaan dengan sila-sila yang terdapat di dalamnya.

Bung Karno lebih banyak berbicara dalam konteks politik kenegaraan, Mohammad Hatta berusaha menerjemahkannya menjadi sistem ekonomi yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pilar utamanya. Kedua pemimpin itu setuju bahwa Pancasila sebagai ideology kenegaraan dan dasar sistem ekonomi lebih mendekati ?sosialisme? dibanding ?kapitalisme?. Tetapi sepanjang pemerintahan Orde Baru hingga kini, kapitalismelah yang lebih leluasa mengembangkan sayap dan menguasai kehidupan ekonomi dan sosial budaya masyarakat Indonesia.

Situasi ini mengundang persoalan dan mesti dipikirkan kembali oleh anak bangsa dalam menyongsong masa depan bangsa yang tidak menentu. Begitu pula dalam upaya menempatkan bangsa kita bermartabat dan tehormat di tengah pergaulan bangsa-bangsa lain di dunia.

Sebagaimana teks ideologi atau kenegaraan lain di dunia ini, Pancasila mengandung tiga aspek utama yang merupakan lapisan-lapisan yang secara bersama-sama membentuk rumusannya dan sekaligus mengundang tafsir yang aneka ragam. Tiga aspek utama itu ialah:

(1) Aspek yuridis formal, yaitu rumusan sila-silanya yang lima dan dijadikan landasan konstitusi dan yuridis dalam kehidupan bernegara;
(2)Aspek sosiologis historis dan sosial-budaya, yang melatari penyusunan dan perumusan sila-silanya. Aspek ini sangat kompleks, memerlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk menjelaskannya, terutama ilmu sejarah, anthropologi, sastra, sosiologi, ilmu kebudayaan, politik dan geografi.
(3). Aspek falsafah, yaitu pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview) yang melatari kesepakatan atas perumusan dan pencetusannya sebagai dasar ideologi negara.

Dilihat menurut aspeknya yang pertama, sila-sila dalam Pancasila seakan-akan mengikat secara yuridis karena ia merupakan landasan terbentuknya sistem hukum dan perundang-undangan dalam negara Republik Indonesia.

Dilihat dari aspek kedua kita diingatkan untuk menyadari bahwa di belakang perumusan sila-silanya terdapat serangkaian peristiwa sosial politik dan situasi/kondisi sosial budaya yang dialami bangsa Indonesia sebelum tahun dicetuskannya proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dengan kata lain di belakang perumusan Pancasila itu adalah sejarah suatu bangsa yang telah lama memiliki anekaragam kebudayaan, sistem kepercayaan dan pandangan hidup.

Sebagai sebuah negara yang harus dibangun di negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama dan multi-historis itu, cita-cita dan tujuan negara RI harus mampu menampung aspirasi dari penduduknya yang bhinneka itu, mengakui eksistensinya beragam dalam ekspresi budaya, pelaksanaan sistem kepercayaan, pengembangan sistem pengajaran dan pendidikan, dan menyelenggarakan kehidupannya di bidang sosial, ekonomi dan politik.

Dilihat dari aspek ketiga, keseluruhan isi Pancasila dan juga setiap sila yang ada dalamnya didasarkan atas suatu pemikiran falsafah tertentu. Ini bisa kita ketahui bila kita meneliti pemikiran founding father republik ini seperti Sukarno, Muhammad Hatta dan lain-lain yang terlibat langsung dengan perumusannya. Di dalamnya terkandung cita-cita dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang hidup dalam pemikiran pendiri negara ini.


Sila-sila dalam Dasar Falsafah Negara:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusian Yang Adil dab Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalan Permusyawatan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kedua dan ketiga tercemin jelas dalam Mukadimah UUD 45
Sila Pertama hanya tersirat, bahkan kerap diperdebatkan
Sila keempat dan kelima belum dipraktekkan sungguh-sungguh dalam
Kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kenegaraan.

Mukadimah UUD 45 terdiri dari 4 perkara pokok:
Pernyataan keyakinan atau statement of belief:
- Kemerdekaan adalah hak segala bangsa (aspek kemanusiaan)
- Perjuangan mencapai kemerdekaan dicapai berkat rahmat Tuhan YME (aspek religius)

Visi sejarah (a vision of history)
Terbentuknya negara RI bukan karena pewarisan dari nenek moyang, tetapi hasil perjuangan seluruh bangsa, segenap golongan, lapisan dan etnik.

Landasan falsafah atau dasar negara --- Pancasila.
Alasan ideologis berdirinya negara RI (mempertahankan bangsa dan tanah air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam mempertahankan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan.

Realitas Sosial Budaya & Sejarah Politik (Latar rumusan Pancasila dan Mukadimah UUD 45)
Sebelum RI berdiri bangsa Indonesia yang multi-etnik, multi agama, multi-golongan dls, memiliki kebudayaan, agama dan kerajaan-kerajaan yang didirikan sebelum dan setelah datangnya agama Hindu, Buddha dan Islam; Datangnya VOC dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda menyatukan kerajaan-kerajaan Indonesia lama yang ditaklukkan di bawah penjajahannya. Pada akhir abad ke-19 M, setelah Perang Diponegoro di Jawa, Perang Padri/Imam Bonjol di Sumatra Barat, perang di berbagai wilayah seperti Kalimantan, Sumatra, Nusa Tenggara dll, dan terakhir Perang Aceh (berakhir secara de fakto pada 1905) Hindia Belanda disatukan di bawah nama Pax Nederlandica. P. N. dipersatukan secara administrative, menggunakan sistem pos dan komunikasi yang seragam, mata uang, penguatan kapitalisme.

Pendidikan diseragamkan melalui apa yang disebut ?politik etis? atau etische politiek. Secara ekonomi, politik dan budaya negeri ini berada di bawah pengawasan dan penguasaan tunggal pemerintah jajahan Hindia Belanda.

Awal abad ke-20 muncul gerakan kebangsaan dari berbagai golongan dan perkumpulan etnik (Budi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, dll). Idea mendirikan negara kesatuan disalurkan melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tahun 1930an muncul Polemik Kebudayaan untuk menentukan arah kebudayaan bangsa Indonesia. Nama Indonesia berasal dari sarjana Jerman abad ke-19 Adolf Bastian. Pada abad ke-20 digunakan oleh organisasi pemuda Indonesia di negeri Belanda Perhimpunan Indonesia (didirikan 1921).

Penjajahan Jepang 1942 1945 --- terbentuknya Badan Urusan Panitia Persiapan Kemerdekaan RI. Melahirkan Piagam Jakarta lalu Mukadimah UUD 45, dengan Pancasila di dalamnya. Ide NKRI yang sekarang adalah lanjutan dari Pax Nederlandica. Baik pemerintahan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan lebih-lebih-lebih pada zaman Orde Baru (1967-1998) kekuasaan pemerintah pusat terlalu besar membuka peluang persatuan diterjemahkan sebagai penyeragaman, kesatuan sebagai keseragaman.

IDEOLOGI-IDEOLOGI BESAR DALAM RUMUSAN PS
Jika diteliti secara mendalam latar belakang sejarah perumusan sila-sila dalam PS, akan tampak bahwa PS berakar dalam berbagai ideology yang berkembang sejak zaman kerajaan-kerajaan (Hindu, Buddha dan Islam) dan selama masa penjajahan Belanda. Ideologi-ideologi ini dipelajari oleh para pendiri NKRI dari sekolah-sekolah yang didirikan Belanda. Dari lembaga-lembaga pendidikan inilah pemikiran filsafat/falsafah Barat diperkenalkan kepada pemuda-pemuda atau kaum terpelajar Indonesia.

Ide-ide yang dimaksud ialah ?Kemanusiaan yang adil dan beradab?, yang tidak lain dikembangkan dari Humanisme, sedangkan perkataan ?adil? dan ?beradab? mengacu pada ajaran Islam. Sila ketiga ?Persatuan Indonesia? identik dengan nasionalisme, sedang sila keempat ?Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan? mengacu pada ide Demokrasi, sedangkan nuansa keindonesiaan/Islam ditambahkan melalui kata-kata ?permusyawaratan?. Sila terakhir ?Keadilan Sosial Bagi Segenap Rakyat Indonesia? mengacu pada ide-ide Sosialisme, dan ajaran Islam tentang keutamaan ?adil? bagi pemimpin dalam menjalankan pemerintahan.

Pada mulanya ketika panitia Badan Persiapan Panitia Urusan Kemerdekaan Indonesia bersidang, sila pertama ?Ketuhanan Yang Maha Esa? belum disinggung oleh beberapa peserta sidang, tetapi kemudian diusulkan oleh golongan nasionalis Islam agar dimasukkan dan dijadikan sila pertama. Sila ini dalam Piagam Jakarta (yang mendahului penyusunan Mukadimah UUD 45) berbunyi ?Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya?. Kemudian diganti ?Ketuhanan Yang Maha Esa? untuk menunjukkan realitas anthropologis bangsa Indonesia yang terdiri dari pemeluk- pemeluk berbagai agama (Islam, Hindu, Buddha, Kristen (Katholik dan Protestan) dan kepercayaan- kepercayaan lokal, termasuk penganut agama Kong Hu Cu).

Peletakan sila Ketuhanan YME ini mengandung konsekwensi pada penerapan sila-sila yang lain, yang sebagian besarnya dicerap dari ide-ide modern yang berkembang di Barat dan tidak terlalu dikaitkan dengan ajaran agama. Di Indonesia ide-ide itu dengan sendirinya harus dikembangkan pula sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang dipeluk sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan demikian agama-agama yang telah ada dan wujud sebelum berdirinya NKRI diakui sebagai bagian dari realitas sosial budaya dan sosial politik bangsa Indonesia.

PANCASILA, REFORMASI DAN CITA-CITA MASYARAKAT MADANI
Salah satu cita-cita kultural gerakan Reformasi yang penting dan relevan untuk membangun masa depan masyarakat Indonesia yang majemuk ialah terbentuknya civil society, yang sering diterjemahkan menjadi ?masyarakat kewargaan? atau ?masyarakat madani? (selanjutnya MM). Dalam masyarakat yang demikian kebudayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat kita yang majemuk, diharapkan memainkan peranan dalam memajukan masyarakat, memperbaiki kondisi dan kualitas hidupnya, serta mengangkat martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Hukum dijunjung tinggi dan dipatuhi sebagai balasan terhadap perlindungan dan keadilan yang diberikan negara kepada masyarakat.

Penganut agama dan etnik yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan, tidak ada diskriminasi dalam kehidupan ekonomi, politik, hukum dan pendidikan. Sejarah dan kebudayaan masing-masing juga dihargai sebagai bagian dari sejarah dan kebudayaan nasional. Sebagaimana difirmankan dalam al-Qur`an, ?Kalian dicipta berkaum-kaum untuk saling mengenal satu dengan yang lain?.

Masyarakat yang demikian dapat terbentuk apabila ada upaya dan kemauan politik yang sungguh-sungguh dari negara dan komponen-komponen masyarakat yang mendukung negara.

Di Indonesia wacana masyarakat madani dirasakan penting pada akhir 1980an dan awal 1990an. Dikenalnya wacana ini secara agak luas bersamaan dengan bangkitnya organisasi-organisasi sosial dan LSM-LSM yang aktif membina jaringan-jaringan komunitas pembangunan dengan tujuan memberdayakan masyarakat dalam sektor kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya. Dikenalnya wacana ini pula bersamaan dengan kebangkitan Islam Kultural dengan tujuan yang hampir sama. Kebangkitan Islam Kultural ini antara lain ditandai dengan berdirinya ICMI, Bank Muamalah dan diselenggarakannya Festival Istiqlal I dan II, untuk menyebut beberapa contoh yang dikenal luas oleh masyarakat.

Pemahaman terhadap pentingnya masyarakat madani tidak dapat dilepaskan dari keinginan menjadikan negara dan pembangunan yang dilaksanakan atas nama negara itu tidak asing bagi masyarakat dan masyarakat tidak merasa dipinggirkan oleh pembangunan, bahkan dapat berperan serta dan ikut mengambil inisiatif dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dan berbangsa.

Jika dikaji secara mendalam terdapat beberapa hal yang melatari munculnya wacana atau diskursus ini. Selain hasrat pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan komunitas (community development), dapat disebutkan di sini antara lain ialah:

Pembebasan masyarakat dari akibat buruk pendekatan pembangunan Orde Baru, yaitu pendekatan top down and tricle down effects dan pendekatan teknokratis. Pendekatan ini dilakukan untuk mensukseskan pembangunan ekonomi dan penyebarluasan budaya materialisme. Penekanan pada pembangunan ekonomi dan penyebarluasan budaya materialisme, sebagaimana terbukti di negeri lain di luar Indonesia, memperlihatkan bahwa masalah etika dan estetika diabaikan.

Menghindar dari paradigma ideologi asas tunggal Demokrasi Pancasila, yang
antara lain bertitik tolak dari pandangan bahwa negara dan bangsa Indonesia tidak sama dengan negara dan bangsa lain, begitu pula demokrasi yang diterapkannya. Paradigma masyarakat madani sebaliknya bertolak dari pengakuan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi pada dasarnya universal, meskipun setiap negara punya sistem dan cara pelaksanaan berbeda. Begitu pula kita harus mengakui bahwa sistem pemerintahan yang baik tidak dijalankan secara monolitik dan otoriter, melainkan secara demokratis, penuh keadilan dan tidak memihak golongan atau lapisan tertentu masyarakat.

Selama 40 tahun di bawah rezim Sukarno dan Suharto kita merasakan betapa dengan sistem pemerintahan semacam itu, negara tampil tidak lagi sebagai lembaga pemerintahan yang adil, ramah dan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif dan menyenangkan bagi tumbuhnya kreativitas, kesejahteraan dan kemajuan. Bahkan di bawah kedua rezim pemerintahan yang sentralistik dan otoriter itu negara menjadi asing bagi masyarakat dan masyarakat asing bagi negara. Keduanya melahirkan negara kekeluargaan yang paternalistik dan penuh mitos serta kultus. Ini menyebabkan perbedaan pendapat dianggap tabu, oposisi ditindas, KKN dianjurkan dan didorong tumbuh, sehingga lahirlah oligarki, oligapoli dan monopoli dalam berbagai lapangan kegiatan, khususnya ekonomi dan perdagangan.

Karena itu mau tak mau cita-cita akan masyarakat madani harus dihubungkan
dengan dorongan untuk membebaskan diri dari pemikiran Orde Baru yang totaliter dan hegemonik. Pemikiran rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru yang totaliter dan hegemonik membuat masyarakat kehilangan jaminan serta dukungan hukum dan politik dalam upaya pemerintah membentuk komunitas bangsa yang menghargai kemajemukan, perbedaan pendapat dan pandangan hidup. Negara juga tidak pernah memberi jaminan dan dukungan jelas bagi tumbuhnya tatanan sosial politik yang demokratis. Begitu pula tidak ada upaya sungguh-sungguh membangun struktur kehidupan ekonomi yang adil dan memihak kepentingan rakyat.

(4) Meluruskan kembali makna bahwa ?persatuan? bukan ?penyeragaman? dan ?kesatuan? bukan ?keseragaman? (budaya, ideologi politik). Selama 40 tahun kita juga melihat lemahnya usaha menciptakan suasana kultural dan ideologis yang dapat membawa komunitas bangsa Indonesia menjadi sebuah masyarakat madani, yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan dan kesatuan ditafsir sebagai penyeragaman dan keseragaman. Penyeragaman dilakukan dengan membangun kekuasaan birokrasi, sehingga memperlemah kepemimpinan lokal dan nasional di luar jalur birokrasi. Campur tangan birokrasi dalam kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya terlalu dalam, melumpuhkan kreativitas dan wibawa kepemimpinan non-formal. Berbagai lembaga dan organisasi sosial, termasuk partai politik, tidak lebih merupakan perpanjangan tangan penguasa.

Didukung oleh hasrat hegemonik dan dominasi maka segala bentuk ekspresi dan
hasrat untuk berbeda dan menyimpang dari pendapat dan pandangan resmi pemerintah, pasti akan ditindas dan dicap subversif. Malah pemerintah siap dengan tuduhan seperti makar, mendongkel pemerintah yang sah, separatisme dan pengacau keamanan. Aspirasi daerah dihancurkan secara sistematik, di samping dikeruk dan digarong kekayaannya. Sebaliknya masyarakat yang menjadi korban penindasan negara berpendapat bahwa semboyan Persatuan dan Kesatuan, Stabilitas dan Keamanan tidak lebih sebagaiLambang penindasan negara yang sentralistik. Pembangunan lantas menjadi mitos atau dongeng, semacam kisah Ki Dalang untuk menyenangkan publik, dan pemimpin sebagai Ki Dalang yang mengatur skenario cerita berdiri sebagai sosok yang siap dikultuskan.

Karena itu kita juga harus membebaskan diri dari negara birokrasi yang feodalistis untuk membangun masyarakat yang berkedaulatan rakyat. Negara yang tergantung pada birokrasi akan kehilangan daya hidupnya. Bahkan negara semacam itu tidak lebih sebagai sumber konflik, disintegrasi dan kekerasan, karena ia telah menabur benih konflik, kebencian dan pembangkangan. Tetapi ada sumber konflik dan disintegrasi lain yang timbul dari pemerintahan yang sentralistik dan hegemonik. Sumber konflik dan disintegrasi itu datang dari pembangunan ekonomi dan budaya materialisme.

Selama ini pembangunan ekonomi dan industri telah membuat terciptanya daerah-daerah perkotaan dan urban baru. Sebagaimana di kota-kota yang tumbuh besar, di tempat-tempat seperti itu tumbuh komunitas lokal yang majemuk. Komunitas-komunitas lokal yang kian majemuk seperti Batam, Sambas, Ambon, Kupang dan lain-lain itu tumbuh karena adanya arus perpindahan penduduk atau mobilitas demografis. Ada perpindahan yang berlangsung melalui program transmigrasi, ada yang terjadi secara spontan.

Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon.

Selama birokrasi pemerintah pusat kuat, yaitu ketika Orde Baru berkuasa, kemungkinan terjadinya konflik etnik dan antar agama seperti di Sambas, Kupang, Ambon, Maluku dan lain-lain dapat dicegah. Tetapi kita tidak dapat mengingkari bahwa salah stau faktor penyebabnya ialah kecemburuan dan kesenjangan sosial. Perlakuan berlebihan dari birokrasi terhadap kelompok tertentu, juga bisa memicu konflik, apalagi disarati oleh kepentingan politik dari elit politik yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan.

Contoh terbaik ialah di Sambas: suku Dayak yang mandeg dalam mobilitas ekonomi harus berhadapan dengan kenyataan pahit. Mereka terjepit antara penguasaan HPH dan gerak maju para pendatang suku Madura. Ketika kekuasaan pusat masih kuat, konflik dapat dikendalikan. Namun ketika pemerintahan pusat tumbang, diikuti hancurnya birokrasi di daerah yang merupakan perpanjangan kekuasaan di pusat, maka konflik etnik pun meledak. Konflik diikuti oleh dendam berkepanjangan. Kapankah Muslim Ambon bisa hidup rukun lagi dengan Kristen Ambon? Kapankah masyarakat berbeda etnik di Sambas kembali harmonis?

(6) Kita juga menggugat pandangan bahwa negara di atas segala-galanya, padahal negara didirikan untuk membangun tatanan kehidupan sosial dan politik berkedaulatan rakyat. Selama ini kekuasaan negara (baca penguasa) sedemikian mutlaknya, dan tidak ada yang lebih penting selain penguasa. Padahal Mukadimah UUD 45 secara ideologis meletakkan asas berdirinya negara Indonesia sebagai berikut: (a) Negara didirikan untuk mempertahankan bangsa dan tanah air; (b) meningkatkan kesejahteraan rakyat; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; (d) ikut serta dalam mempertahankan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan. Dijumpai pula dalam mukadimah UUD 45 pernyataan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan perjuangan bangsa Indonesia berhasil membentuk negara merdeka berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Dari situ jelas bahwa negara Indonesia bukan warisan nenek moyang, atau satu dua pemimpin, dan juga bukan sekadar kelanjutan kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Aceh Darussalam atau Mataram. Tetapi sebagai hasil perjuangan bangsa secara keseluruhan pada abad ke-20.


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkanproses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Namun dalam empat hal inilah yang tidak pernah dipenuhi oleh pemerintahan Orde Baru.

Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ?Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa? dan ?bhinneka tunggal ika? masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah.[]

Pengamalan Pancasila

Akhir-akhir ini muncul isu yang mengkhawatirkan, yakni adanya orang-orang yang ingin mengganti Pancasila. Ada juga perbincangan untuk membela Pancasila. Semua itu menandakan adanya kesadaran akan pentingnya ideologi negara Pancasila dilestarikan.
Pancasila seyogianya disikapi dengan arif dan kepala dingin, sambil berpikir dan bertindak agar Pancasila tetap sakti dan lestari sebagai falsafah, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan sebagai dasar dan ideologi negara. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan perjanjian luhur seluruh anak bangsa Indonesia yang sangat majemuk, dan menghormati serta menjamin hak dan martabat kemanusiaan.
Pancasila mengandung nilai dasar yang bersifat tetap, tetapi juga mampu berkembang secara dinamis. Dengan perkataan lain, Pancasila menjadi dasar yang statis, tetapi juga menjadi bintang tuntunan (lightstar) dinamis. Oleh karena itu, Pancasila disebut sebagai ideologi terbuka, yang mengandung nilai-nilai dasar seperti tentang cita-cita, tujuan, dan nilai-nilai instrumental yang merupakan arahan kebijakan, strategi, sasaran yang dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Sebagai nilai dasar ideologi negara tidak boleh berubah. Yang dapat berubah adalah nilai-nilai instrumental yang merupakan pengamalan, pengembangan, dan pengayaan nilai-nilai dasar. Pancasila juga sebagai dasar dan ideologi negara, yaitu sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara.
Suasana kebatinan itu di antaranya adalah cita-cita negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada cita-cita untuk mewujudkan persatuan yang melindungi dan meliputi seluruh bangsa, mengatasi paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, mewujudkan keadilan sosial, dan negara yang berkedaulatan rakyat.
Tampaknya, Pancasila masih kurang dipahami benar oleh sebagian bangsa Indonesia. Sesudah tahun 1998 Pancasila kurang ada "greget" membicarakan Pancasila. Padahal, maraknya korupsi, suap, main hakim sendiri, anarkis, sering terjadinya konflik dan perpecahan, dan adanya kesenjangan sosial saat ini, kalau diruntut lebih disebabkan belum dipahaminya, dihayati, dan diamalkannya Pancasila.
Untuk menjaga agar Pancasila tetap sakti dan lestari, harus dilakukan peningkatan pemahamannya pada semua lapisan masyarakat. Yang lebih penting lagi, para pemimpin harus menjadi teladan dalam pengamalan Pancasila. Pancasila akan menjadi ideologi yang kuat apabila diamalkan dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menuju negara yang baldatun thayyibatun warabun ghafur.

http://www.suarakarya-online.com
Pandangan Hidup Bangsa Tersingkirkan

Jika sejarah awal munculnya multikultur sebagai sebuah gerakan yang hadir akibat dilantunkannya suara-suara minoritas atau budaya-budaya yang terpinggirkan. Saat inipun multikultural dapat dikatakan masih berkutat dengan isu-isu tersebut. Hak-hak budaya lokal dan kaum terpinggirkan yang seringkali tidak diakui sebagai bagian dari budaya bangsa adalah wilayah kerja utamanya. Meskipun demikian lingkup kerja gerakan ini semakin beragam dengan semakin banyaknya suara-suara kecil yang ingin diperjuangkan. Budaya sebagai budaya, tak lagi menjadi isu sentral dalam gerakan ini.

Sesuai perkembangan jaman, budaya yang sering diartikan sebagai daya cipta, karsa, dan karya manusia—dalam artian positif— mengalami dekandensi pemaknaan. Hampir semua yang dapat dihasilkan oleh manusia, saat ini bisa diketegorikan sebagai budaya. Padahal hal ini tentu mendistorsi nilai dasariah awal budaya itu sendiri. Budaya yang dahulu diidentikkan sebagai pancaran dari nilai-nilai yang “baik” telah dirubah menjadi sosok yang lebih beragam dan berwarna.

Hampir selalu, yang menjadi acuan untuk menilai satu budaya yang baik itu seperti apa, subjektifitas dalam kelompok atau bangsa akan selalu hadir. Baik dan buruk dapat dilihat dari kacamata masing-masing, tergantung siapa yang melihat. Bisa saja baiknya nilai budaya satu kelompok itu dianggap buruk nilai. Dan kebalikan dari itu, buruknya nilai budaya satu kelompok bisa saja menjadi satu nilai yang baik menurut yang lain. Budaya seks bebas misalnya, oleh mereka yang menganggap seks bebas sebagai sesuatu yang biasa, tentu budaya seks bebas dapat menjadi baik. Padahal, pada umumnya budaya seks bebas ini memiliki nilai hakiki buruk di dalam dirinya. Kenyataan inilah yang akhirnya membawa nilai baik dalam budaya itu menjadi relatif.

Kerelatifan nilai baik dalam budaya inipun tak Kerelatifan nilai baik dalam budaya inipun tak hanya bersinggungan dengan budaya dari hasil perilaku manusia pada umumnya. Budaya sebagai satu pandangan hidup bersamapun tak mampu membendung gelombang ini, tak terkecuali Pancasila sekalipun.


Bangsa ini pasti ingat betul bagaimana Pancasila pada masa-masa pra-reformasi, dijunjung-junjung dan diagung-agungkan. Di masa Soekarno—meskipun diduakan—Pancasila masih merupakan pandangan hidup bangsa, sebagai satu kaidah dengan nilai-nilai baik yang dapat dijadikan pegangan. Hampir semua setuju bahwa Pancasila adalah baik. Sedangkan di masa Soeharto, Pancasila mendapatkan tempat suci di dalam diri bangsa ini. Tempat suci itu menjadikannya sebagai satu pandangan hidup dengan nilai-nilai baik secara “mutlak”. Hingga apa-apa yang tidak sesuai dengannya harus menjadi entitas-entitas diri yang terbuang.

Paska reformasi, Pancasila mendapatkan dirinya dalam kontraposisi dengan dirinya pada masa-masa sebelumnya. Pancasila pelan tapi pasti, semakin menyingkir dari gegap gempita kehidupan bangsa Indonesia. Disadari atau tidak, Pancasila mulai mati suri sejak reformasi bergulir. Bangsa ini menjadi apatis terhadap Pancasila.Kevakuman pandangan hidup bersama ini membawa dampak yang bisa dikatakan tidak baik. Pertama, kekosongan ini menjadikan suara-suara minoritas yang dulunya terkekang, mulai muncul kepermukaan. Padahal bila dibiarkan, suara-suara minoritas yang semakin vokal akan menimbulkan kebebasan yang keblabasan. Setiap kelompok merasa berhak untuk melakukan apa yang dirasa menjadi hak mereka. Hak-hak itu diumbar dengan tanpa melihat kewajiban yang ada karena hak tersebut. Kebebasan inilah yang sekarang menjadi kebebasan yang tak berarah. Dan tentunya ini sangat riskan dalam upaya menegakkan kembali bangsa ini.

Kedua, dengan “tiadanya” Pancasila, maka benih-benih perpecahanpun akan semakin nampak. Meskipun Pancasila sebagai hasil upaya manusia, namun karena pengupayaannya didasarkan keragaman bangsa indonesia, di dalam perbedaan itu posisi Pancasila sangatlah vital. Uniknya keberagaman di dalam Indonesia memerlukan sesuatu yang dapat mengikat keberbedaan itu dengan tanpa merendakan yang lain. Pancasila hadir bukan atas nama satu kelompok. Pancasila ada karena menaungi keberagaman dalam bangsa ini.

sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/1702566-pandangan-hidup-bangsa-terpinggirkan/

Pancasila Sebagai Dasar Negara,Pandangan Hidup Bangsa, dan Pemersatu Bangsa

PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCA SILA


Paduka tuan Ketua yang mulia! Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan
Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka.Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma'af, beribu ma'af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:"P h i l o s o f i sc h e g r o n d s l a g" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di
atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan ,,merdeka".
Merdeka buat saya ialah: ,, p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e ,,, p o l i t i e k o n a f h a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - ,,zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. ,,Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- ,,njelimet".
Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan. Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya! Alangkah berbedanya i s i itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya
kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu
Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya
tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur! (Tepuk tangan riuh). Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun `33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama ,,Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di
dalam risalah tahun `33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu j e m b a t a n e m a s . Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa d i s e b e r a n g n y a jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam s a t u m a l a m, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! S e s u d a h ,,jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka d i s e b e r a n g jembatan, artinya k e m u d i a n d a r i p a d a i t u, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai
nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff*), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -,
dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh). Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan ,,INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e k a r a n g , s e k a r a n g , s e k a r a n g ! (Tepuk
tangan riuh). Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu j e m b a t a n ! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat
sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul
Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam! Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka? (Seruan: Tidak! Tidak) Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, s e k a r a n g p u n kita menerima urusan itu, s e k a r a n g p u n kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka! (Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup m e m p e r t a h a n k a n negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih
baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup m e m p e r t a h a n k a n negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka. (Tepuk tangan riuh)
*) Yang dimaksud Dnepropetrovsk, suatu kawasan industri di mana terdapat bendungan raksasa di sungai Dnepr, dan disitu dibangun stasiun pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian Soviet Rusia (ket. - LSSPI) Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya
berani kawin. Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu ,,meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur. Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa) Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: k i t a i n i b e r a n i m e r d e k a a t a u t i d a k?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari
yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika t i a p - t i a p orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! (Tepuk tangan riuh).


D i d a l a m Indonesia merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a k a n rakyat kita!! D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a n hatinya bangsa kita! D i d a l a m Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud m e m e r d e k a k a n rakyat Arabia satu persatu. D i d a l a m Soviet-Rusia Merdeka Stalin m e m e r d e k a - k a n hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. ,,Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka". Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. D i d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita
untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l a m Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan ,,jembatan". Di seberang jembatan, j e m b a t a n e m a s, inilah, baru kita l e l u a s a menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan
abadi. Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan
syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak,
tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka. Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak? (Jawab hadlirin: Mau!) Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal ,,merdeka",maka sekarang saya bicarakan tentang hal d a s a r. Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu ,,Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu,,Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas ,,national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu ,,Weltanschauung", yaitu Marxistische,
Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu ,,Weltanschauung", yaitu yang dinamakan ,,Tennoo Koodoo Seishin". Diatas ,,Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu ,,Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia:
Apakah ,,Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka? Tuan-tuan sekalian, ,,Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam,,Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk me"realiteitkan",,Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka
didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: ,,Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:,,Ten days that shook the world", ,,sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi ,,Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas ,,Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895
,,Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,Weltanschauung itu,,dicobakan", di ,,generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri ,,generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, ,,Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas ,,Weltanschauung" yang
telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya ,,Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, ,,Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya ,,Munschener Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas
dasar,,Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah ,,Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen? Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
,,Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku ,,The three people"s principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas ,,Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun. Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas ,,Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau ,,Weltanschauung' apakah? Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s a t u a n p h i l o s o p h i s c h e g r o n d s l a g , mencari satu ,,Weltanschauung" yang k i t a s e m u a setuju. Saya
katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita b e r -s a m a - s a m a setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesiamerdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi
sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita
hendak mendirikan suatu negara ,,semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi ,,semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di
dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 5 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar k e b a n g s a a n. K i t a m e n d i r i k a n s a t u n e g a r a k e b a n g s a a n I n d o n e s i a. Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan ,,kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya
katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n . Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu n a s i on a l e s t a a t, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa
Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
S a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa? Menurut Renan syarat bangsa ialah ,,kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: ,,le desir d'etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya ,,Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: ,,Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: ,,Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: ,,verouderd",,,sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah ,,verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu
belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik. Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang ,,Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan ,,Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, ,,l'ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi
yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r . Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana,,kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai,,golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan. Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan. Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita! Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup ,,le desir d'etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer ,,aus chiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada ,,desir d'entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa ,,le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan ,,le desir d'etre
ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan ,,le desir d'etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah s e l u r u h manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S
e l u r u h n y a !, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada ,,le desir d'etre enemble", sudah terjadi ,,Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi s a t u ! (Tepuk tangan hebat). Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan ,,golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat,
tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu
Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata,
bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia s e l u r u h n y a, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: K e b a n g s a a n I n d o n e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o n e s i a, yang bersama-sama menjadi dasar satu
nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan ebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: ,,Saya tidak mau akan kebangsaan".
T U A N L I M K O E N H I A N : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
T U A N S O E K A R N O : Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang
tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi
semuanya ,,menschheid",,,peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran
kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya ,,San Min Chu I" atau ,,The Three People's Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah r a s a k e b a n g s a a
n, oleh pengaruh ,,The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk kelobang kubur. (Anggauta-anggauta Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada b a h a y a n y a ! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham ,,Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: ,,Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan ,,My nationalism is humanity". Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan,,Deutschland
uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, ,,bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan
termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang


saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan,,i n t e r n a s i o n a l i m e". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i t i s m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-
sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ,,semua buat semua", ,,satu buat semua,
semua buat satu". S a y a y a k i n s y a r a t y a n g m u t l a k u n t u k k u a t n y a n e g a r a I n - d o n e s i a i a l a h p e r m u s y a w a r a t a n p e r w a k i l a n . Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati,
tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung arno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi
perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-
utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi,
barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang
memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya.
Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter
di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan
gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip k e s e j a h t e r a a n , p r i n s i p : t i d a k a k a n a d a k e m i s k i n a n d i d a l a m I n d o n e s i a M e r d e k a. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat #sejahtera, yang semua orang cukup
makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela? Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak ukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah p o
l i t i e- k e democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada k e a d i l a n s o s i a l, tidak ada e k o n o m i s c h e democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. ,,Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak p o l i t i e k yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam
parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: ,,Wakil kaum buruh yang mempunyai hak p o l i t i e k itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos,
tidak dapat makan suatu apa". Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni p o l i ti e k - e c o m i s c h e democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil?
Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan p o l i t i e k, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan e k o n o m i kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya. Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang b e r sa m a d e n g a n m a -s y a r a k a t dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid. Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama,saudara-saudara, di dalam badan
permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie ,,vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu'minin, harus
dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan. 3. Mufakat, - atau demukrasi.
4. Kesejahteraan sosial. Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ,,egoisme-agama". Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang b e r k e a d a b a n . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah h o r m a t - m e n g h o r m
a t i s a t u s a m a l a i n . (Tepuk tangan sebagian hadlirin).
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,
tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai
dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah K e t u h a n
a n y a n g b e r k e b u d a y a a n, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur,
Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama
yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan
Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita
mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! ,,Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti
kewajiban, sedang kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorangteman kita ahli bahasa namanya ialah P a n c a S i l a. Sila artinya azas atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuktangan riuh). Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ,,perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan s o c i o - n a t i o n a l i s m e . Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi d e n g a n sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan
s o c i o -d e m o c r a t i e. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang k i t a s e m u a harus men-dukungnya. S e m u a b u a t s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - s em u a b u a t s e m u a ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ,, g o t o ng - r o y o n g ,,.
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara g o t o n g r o y o n g! Alangkah hebatnya! N e g a r a G o t o n g R o y o n g ! (Tepuk tangan riuh rendah). ,,Gotong Royong" adalah faham yang d i n a m i s , lebih dinamis dari,,kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, b e r s a m a- s a m a ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. A m a l semua buat kepentingan semua, k e r i n g a t semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! (Tepuktangan riuh rendah). Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yanggemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia
yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t. Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan.
Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun.Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi r e a l i t e i t , jika tidak dengan p e r j o an g a n ! Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan
Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! ,,D e Mensch", -- manusia! --, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen. Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali-
teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata:
D i - d a l a m Indonesia Merdeka itu perjoangan
kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad ,,Merdeka, -- merdeka atau mati"!
(Tepuk tangan riuh) Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap,,verschrikkelijk zwaarwichtig" itu. Terima kasih!

Disalin dari buku LAHIRNYA PANCASILA, Penerbit Guntur, Jogjakarta, Cetakan kedua, 1949
Publikasi 28/1997 LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA