Selasa, 03 Juni 2008

Nasionalisme

Dinamika perjuangan kaum cendekiawan Indonesia memperoleh momentumnya setelah Perang Dunia Pertama, tahun 1918. bukan saja gerakan kaum cendekiawan Indonesia tersebut mulai mendapat perhatian internasional, perkembangan dunia intenasional itu sendiri juga semakin menarik perhatian kaum cendekiawan Indonesia. Di berbagai bagian dunia sudah berlangsung perubahan-perubahan sosial politik yang drastis, yang akan mempengaruhi struktur politik internasional puluhan tahun kemudian.

Selain dimulainya berbagai upaya mewujudkan perdamaian dunia, seperti berdirinya Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa dan gerakan Swadeshi dan Swaraj di India, juga telah timbul berbagai gejolak dan gerakan revolusioner berupa gerakan radikal komunisme, pergolakan politik dalam negeri Tiongkok, serta dilancarkannya politik luar negeri yang agresif oleh kekaisaran Jepang terhadap negara-negara tetangganya. Segala perubahan ini diikuti secara cermat oleh berbagai tokoh cendekiawan muda Indonesia, baik yang sedang belajar di dalam negeri, seperti Soekarno, maupun yang melanjutkan studi di luar negeri, terutama di Belanda, seperti Mohammad Hatta.

Soekarno dan Hatta serta rekan-rekannya dalam dua puluhan memlopori gerakan nasionalis dengan tujuan mengembangkan perasaan nasionalisme bangsa Indonesia secara keseluruhan sebagai satu kesatuan baru, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, atau agama, yang memang merupakan ciri khas masyarakat yang majemuk. Dengan rintisan geraksn nasionalis itu mulai berproseslah pembangunan pembangunan bangsa (nation building) dengan karakter yang khas (character building).

Gerakan kebangsaan itu memerlukan lambang. Bersama dengan rekan-rekan mereka lainnya, Soekarno dan Hatta tertarik dengan istilah Indonesia, yang secara simbolik dipandang mempu menyatukan bangsa Indonesia yang beraneka ragam itu. Semula, istilah Indonesia hanya merupakan istilah teknis etnologi dan antropologi. Golongan intelektual Indonesia telah memberi arti baru dalam kata tersebut, dengan memberi muatan wawasan kebangsaan, yang mencita-citakan kesatuan politik baru untuk seluruh masyarakat yang mendiami Kepulauan Indonesia. Tidaklah mengherankan bahwa kedua istilah politik ini dilarang dipergunakan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kesadaran tentang arti “Indonesia” dan “orang-orang Indonesia” mencapai puncaknya dalam Sumpah Pemuda, yang berwujud pengakuan terhadap satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia. Sumpah Pemuda yang diikrarkan sebagai suatu perjanjian luhur dalam Konggres Pemuda Indonesia yang Kedua, tanggal 26-28 Okober 1928 itu, sesungguhnya dapat dipandang sebagai embrio dari Sumpah Bangsa.

Nyatanya nasionalisme yamg diperjuangkan Bangsa Indonesia tidak sesuai dengan apa yang diharapakan. Nasionalisme tidak lagi diperjuangkan, tidak pula “dibuang”. Apa yang menjadi cita-cita bangsa pun belum sempat tercapai, sejak manusia Indonesia tidak paduli lagi akan bangsa dan harga diri. Kemanusiaan dan keadilan yang didamba-dambakan Bangsa Indonesia belum mencapai tahap memenuhi dan memuaskan. Sulit memeng hendak menyalahkan siapa jika begini. Bukan lagi menyalahkan siapa, siapa yang salah dan siapa yang harus bertangunga jawab, semua harus bertanggung jawab. Tapi, sekarang ini bukan berusaha bersama-sama, tetapi mereka hanya menuntut dan menuntut kepada Pemerintah agar bertanggung jawab atas semua ini. Agar Pemerintah bisa memenuhi semua permintaan rakyat, bagaimanapun caranya. Seolah-olah semua ini adalah kesalahan Pemerintah, tapi apa semua bisa selesai dengan pengklaiman seperti itu? Dengan menyalahkan salah satu pihak saja? Dan mau rakyat hanya tinggal menikmati hasilnya.

Menurut saya, ini semua adalah salah kita semua, bagaimana mungkin kesejahteraan, keadilan, dan kemanusiaan yang kita impikan, dengan hanya mengandalkan salah satu pihak saja (Pemerintah-red).

Misalnya, untuk mengentas kmiskinan. Pemerintah telah berusaha agar kemiskinan bisa segera berakhir, dari sisi negara kita. Tapi, kenyataannya kemiskinan belum juga “pergi” dari negara ini, mungkin semakin bertambah. Lalu apa yang kita lakukan? Adakah usaha untuk mengurangi beban ini? Saya rasa selama ini kita terlalu dan hanya mengandalkan Pemerintah, semua yang terjadi di negara kita ini adalah tanggung jawab kita semua, yang hidup di dalamnya, Bangsa Indonesia. Tanpa dorongan dan bantuan serta kerja sama dari semua pihak menalah mungkin masalah bisa terselesaikan. Menurut saya, jika Pemerintah telah melaksanakan tugasnya dalam mengentas kemiskinan ini, jika memang mental rakyat kita memang mental miskin, tentu sulit mengangkat derajat bangsa ini. Coba saja, manalah ada orang yang bangga (di Negara lain-red) dengan pekerjaan sebagai pengemis. Tapi, rupanya pengemis-pengemis di negara kita ini cukup bangga dengan “pekerjaannya” tersebut. Bagaimana tidak disebut bangga, jika mereka bisa berkata: dengan mengemis pun saya sudah bisa menghidupi saya dan keluarga saya. Begitu? Terlalu apatis saya rasa. Jika dengan kenyataan yang seperti itu, saya rasa Pemerintah membutuhkan kerja yang sungguh-sungguh keras, itu pun dalam satu hal ini saja. Pemerintah tidak memanjakan rakyat kita ini. Belum lagi masalah keadilan yang lain.

Dengan berbekal penghayatan dan pengamalan Pancasila secara ikhlas dan taat asas oleh setiap manusia Indonesia, gerak pembangunan yang kita lakukan bersama-sama akan berjalan lurus dan tiba dengan selamat di tujuannya. Unsur manusia dalam pembangunan ini sangat penting sebab manusia adalah pelaku, tolok ukur, dan sekaligus tujuan pembangunan. Karena Pancasila adalah dasar tujuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, setiap gerak, arah, dan cara kita melaksanakan pembangunan juga harus senantiasa dijiwai oleh Pancasila. Pembangunan bukan saja harus mendatangkan kemakmuran, tetapi juga harus menjamin keadilan sosial, bukan saja mencakup bidang-bidang kebendaan lahiriah, tetapi juga keseimbangannya dengan bidang kejiwaan rohaniah, bukan hanya berkembang di sesuatu daerah, melainkan harus merata di seluruh wilayah Tanah air. Cara melaksanakan pembangunan harus menjunjung tinggi martabat manusia.

Setiap usaha pembangunan bangsa seperti yang berlangsung di Indonesia memerlukan keikutsertaan setiap warga masyarakat dan seluruh bangsa dalam menyumbangkan tenaga dan pikirannya, ilmu pengetahuan dan ketrampilannya, serta keahlian dan kemampuannya. Namun, semua itu belumlah cukup untuk mencapai sasaran jika tidak didorong dan dituntun oleh pandangan hidup bangsa kita yang luhur. Di tangan orang yang tidak bertanggung jawab modal dan akal dapat membahayakan manusia dan masyarakat. Karena itu, watak dan akal dapat membahayakan manusia dan masyarakat. Maka, watak dan moral harus selalu berjalan di depan, membimbing dan memberi arah kepada segala kemampuan yang dikerahkan dalam melaksanakan pembangunan. Bangsa Indonesia yang telah memilih Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara perlu terus menyadari bahwa Pancasila harus tetap menjadi moral perjuangan bangsa kita dalam mencapai sasaran pembangunan. Sebagai moral perjuangan, Pancasila bukan saja berperan sebagai nilai pengukur bagi tujuan dan baik buruknya kebijakan pembangunan di semua bidang, tetapi sekaligus juga sebagai nilai pengukur bagi proses dan cara dalam melaksanakan pembangunan tersebut. Pancasila sebagai moral perjuangan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional perlu diresapi agar menjadi sumber inspirasi perjuangan, penggerak, dan pendorong pembangunan, pengarah, dan sumber cita-cita pembangunan, sumber ketahanan nasional, dan pembimbing moral pada tingkatan operasional sampai ke unit terkecil pun dalam pembangunan nasional kita itu.

Republik Indonesia lahir sebagai hasil perjuangan bangsa melawan penjajahan. Dari hasil perjuangan kemerdekaan tersebut dibentuklah pemerintah negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila juga merupakan suatu hasil perjuangan yang sekaligus menjadi sumber inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia yang membangun suatu negara yang sanggup melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Cita-cita dan tujuan tersebut hanya bisa terwujud apabila seluruh bangsa Indonesia tetap menjadikan Pancasila sebagai sumber inspirasi bagi perjuangan pembangunan selanjutnya.

Pancasila yang bulat dan utuh memberi keyakinan kepada bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai melalui suatu pembangunan nasional, yang bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata lahiriah dan batiniah berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan itu, setelah berhasil menciptakan stabilitas nasional baik di bidang ekonomi maupun politik, maka bangsa Indonesia mulai melaksanakan pembangunan berencana, bertahap, terarah, terpadu, menyeluruh, dan terus-menerus.

Semua usaha dan perjuangan itu hanya akan terwujud apabila seluruh bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai kekuatan pendorong dan penggerak pembangunan nasional.

Pendapat saya, pembangunan yang sesuai dengan Pancasila saat kita telah dapat menjiwai Pancasila. Bukan berarti kemudian kita menjadi berpandangan tertutup (close minded). Lagipula Pancasila bukanlah pandangan hidup yang tertutup. Setidaknya dengan keyaknan akan Pancasila, kita bisa mencapai hal yang didambakan sesuai dengan Pancasila.

Tidak ada komentar: