Selasa, 03 Juni 2008

Pancasila Sebagai Teks Kenegaraan

PANCASILA SEBAGAI TEKS KENEGARAAN PDF Print E-mail

Pancasila adalah teks kenegaraan bagi bangsa Indonesia, sebab rumusan sila-sila yang terdapat di dalamnya secara konstitusional dipandang sebagai dasar falsafah atau landasan ideologi negara Republik Indonesia. Karena merupakan teks penting kenegaraan, ia sekaligus merupakan wacana ? bahan bacaan dan perbincangan bangsa Indonesia dalam membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kehidupan, negara, bangsa, tanah air dan sejarah yang dijalani bangsa Indonesia baik sejak awal kemerdekaan hingga kini.

Tetapi sebagai teks, rumusan-rumusan dalam dasar falsafah negara kita ini, selalu terbuka kepada berbagai penafsiran. Itulah yang terjadi dalam sejarahnya. Pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang disebut ?pancasilais? tidak sama dengan penyebutan yang dimaksudkan selama pemerintahan Orde Baru (1967-1998). Para pendiri republik ini yang dipandang paling bertanggung jawab terhadap Pancasila memberikan penafsiran yang relatif berbeda berkenaan dengan sila-sila yang terdapat di dalamnya.

Bung Karno lebih banyak berbicara dalam konteks politik kenegaraan, Mohammad Hatta berusaha menerjemahkannya menjadi sistem ekonomi yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pilar utamanya. Kedua pemimpin itu setuju bahwa Pancasila sebagai ideology kenegaraan dan dasar sistem ekonomi lebih mendekati ?sosialisme? dibanding ?kapitalisme?. Tetapi sepanjang pemerintahan Orde Baru hingga kini, kapitalismelah yang lebih leluasa mengembangkan sayap dan menguasai kehidupan ekonomi dan sosial budaya masyarakat Indonesia.

Situasi ini mengundang persoalan dan mesti dipikirkan kembali oleh anak bangsa dalam menyongsong masa depan bangsa yang tidak menentu. Begitu pula dalam upaya menempatkan bangsa kita bermartabat dan tehormat di tengah pergaulan bangsa-bangsa lain di dunia.

Sebagaimana teks ideologi atau kenegaraan lain di dunia ini, Pancasila mengandung tiga aspek utama yang merupakan lapisan-lapisan yang secara bersama-sama membentuk rumusannya dan sekaligus mengundang tafsir yang aneka ragam. Tiga aspek utama itu ialah:

(1) Aspek yuridis formal, yaitu rumusan sila-silanya yang lima dan dijadikan landasan konstitusi dan yuridis dalam kehidupan bernegara;
(2)Aspek sosiologis historis dan sosial-budaya, yang melatari penyusunan dan perumusan sila-silanya. Aspek ini sangat kompleks, memerlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk menjelaskannya, terutama ilmu sejarah, anthropologi, sastra, sosiologi, ilmu kebudayaan, politik dan geografi.
(3). Aspek falsafah, yaitu pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview) yang melatari kesepakatan atas perumusan dan pencetusannya sebagai dasar ideologi negara.

Dilihat menurut aspeknya yang pertama, sila-sila dalam Pancasila seakan-akan mengikat secara yuridis karena ia merupakan landasan terbentuknya sistem hukum dan perundang-undangan dalam negara Republik Indonesia.

Dilihat dari aspek kedua kita diingatkan untuk menyadari bahwa di belakang perumusan sila-silanya terdapat serangkaian peristiwa sosial politik dan situasi/kondisi sosial budaya yang dialami bangsa Indonesia sebelum tahun dicetuskannya proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dengan kata lain di belakang perumusan Pancasila itu adalah sejarah suatu bangsa yang telah lama memiliki anekaragam kebudayaan, sistem kepercayaan dan pandangan hidup.

Sebagai sebuah negara yang harus dibangun di negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama dan multi-historis itu, cita-cita dan tujuan negara RI harus mampu menampung aspirasi dari penduduknya yang bhinneka itu, mengakui eksistensinya beragam dalam ekspresi budaya, pelaksanaan sistem kepercayaan, pengembangan sistem pengajaran dan pendidikan, dan menyelenggarakan kehidupannya di bidang sosial, ekonomi dan politik.

Dilihat dari aspek ketiga, keseluruhan isi Pancasila dan juga setiap sila yang ada dalamnya didasarkan atas suatu pemikiran falsafah tertentu. Ini bisa kita ketahui bila kita meneliti pemikiran founding father republik ini seperti Sukarno, Muhammad Hatta dan lain-lain yang terlibat langsung dengan perumusannya. Di dalamnya terkandung cita-cita dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang hidup dalam pemikiran pendiri negara ini.


Sila-sila dalam Dasar Falsafah Negara:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusian Yang Adil dab Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalan Permusyawatan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kedua dan ketiga tercemin jelas dalam Mukadimah UUD 45
Sila Pertama hanya tersirat, bahkan kerap diperdebatkan
Sila keempat dan kelima belum dipraktekkan sungguh-sungguh dalam
Kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kenegaraan.

Mukadimah UUD 45 terdiri dari 4 perkara pokok:
Pernyataan keyakinan atau statement of belief:
- Kemerdekaan adalah hak segala bangsa (aspek kemanusiaan)
- Perjuangan mencapai kemerdekaan dicapai berkat rahmat Tuhan YME (aspek religius)

Visi sejarah (a vision of history)
Terbentuknya negara RI bukan karena pewarisan dari nenek moyang, tetapi hasil perjuangan seluruh bangsa, segenap golongan, lapisan dan etnik.

Landasan falsafah atau dasar negara --- Pancasila.
Alasan ideologis berdirinya negara RI (mempertahankan bangsa dan tanah air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam mempertahankan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan.

Realitas Sosial Budaya & Sejarah Politik (Latar rumusan Pancasila dan Mukadimah UUD 45)
Sebelum RI berdiri bangsa Indonesia yang multi-etnik, multi agama, multi-golongan dls, memiliki kebudayaan, agama dan kerajaan-kerajaan yang didirikan sebelum dan setelah datangnya agama Hindu, Buddha dan Islam; Datangnya VOC dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda menyatukan kerajaan-kerajaan Indonesia lama yang ditaklukkan di bawah penjajahannya. Pada akhir abad ke-19 M, setelah Perang Diponegoro di Jawa, Perang Padri/Imam Bonjol di Sumatra Barat, perang di berbagai wilayah seperti Kalimantan, Sumatra, Nusa Tenggara dll, dan terakhir Perang Aceh (berakhir secara de fakto pada 1905) Hindia Belanda disatukan di bawah nama Pax Nederlandica. P. N. dipersatukan secara administrative, menggunakan sistem pos dan komunikasi yang seragam, mata uang, penguatan kapitalisme.

Pendidikan diseragamkan melalui apa yang disebut ?politik etis? atau etische politiek. Secara ekonomi, politik dan budaya negeri ini berada di bawah pengawasan dan penguasaan tunggal pemerintah jajahan Hindia Belanda.

Awal abad ke-20 muncul gerakan kebangsaan dari berbagai golongan dan perkumpulan etnik (Budi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, dll). Idea mendirikan negara kesatuan disalurkan melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tahun 1930an muncul Polemik Kebudayaan untuk menentukan arah kebudayaan bangsa Indonesia. Nama Indonesia berasal dari sarjana Jerman abad ke-19 Adolf Bastian. Pada abad ke-20 digunakan oleh organisasi pemuda Indonesia di negeri Belanda Perhimpunan Indonesia (didirikan 1921).

Penjajahan Jepang 1942 1945 --- terbentuknya Badan Urusan Panitia Persiapan Kemerdekaan RI. Melahirkan Piagam Jakarta lalu Mukadimah UUD 45, dengan Pancasila di dalamnya. Ide NKRI yang sekarang adalah lanjutan dari Pax Nederlandica. Baik pemerintahan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan lebih-lebih-lebih pada zaman Orde Baru (1967-1998) kekuasaan pemerintah pusat terlalu besar membuka peluang persatuan diterjemahkan sebagai penyeragaman, kesatuan sebagai keseragaman.

IDEOLOGI-IDEOLOGI BESAR DALAM RUMUSAN PS
Jika diteliti secara mendalam latar belakang sejarah perumusan sila-sila dalam PS, akan tampak bahwa PS berakar dalam berbagai ideology yang berkembang sejak zaman kerajaan-kerajaan (Hindu, Buddha dan Islam) dan selama masa penjajahan Belanda. Ideologi-ideologi ini dipelajari oleh para pendiri NKRI dari sekolah-sekolah yang didirikan Belanda. Dari lembaga-lembaga pendidikan inilah pemikiran filsafat/falsafah Barat diperkenalkan kepada pemuda-pemuda atau kaum terpelajar Indonesia.

Ide-ide yang dimaksud ialah ?Kemanusiaan yang adil dan beradab?, yang tidak lain dikembangkan dari Humanisme, sedangkan perkataan ?adil? dan ?beradab? mengacu pada ajaran Islam. Sila ketiga ?Persatuan Indonesia? identik dengan nasionalisme, sedang sila keempat ?Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan? mengacu pada ide Demokrasi, sedangkan nuansa keindonesiaan/Islam ditambahkan melalui kata-kata ?permusyawaratan?. Sila terakhir ?Keadilan Sosial Bagi Segenap Rakyat Indonesia? mengacu pada ide-ide Sosialisme, dan ajaran Islam tentang keutamaan ?adil? bagi pemimpin dalam menjalankan pemerintahan.

Pada mulanya ketika panitia Badan Persiapan Panitia Urusan Kemerdekaan Indonesia bersidang, sila pertama ?Ketuhanan Yang Maha Esa? belum disinggung oleh beberapa peserta sidang, tetapi kemudian diusulkan oleh golongan nasionalis Islam agar dimasukkan dan dijadikan sila pertama. Sila ini dalam Piagam Jakarta (yang mendahului penyusunan Mukadimah UUD 45) berbunyi ?Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya?. Kemudian diganti ?Ketuhanan Yang Maha Esa? untuk menunjukkan realitas anthropologis bangsa Indonesia yang terdiri dari pemeluk- pemeluk berbagai agama (Islam, Hindu, Buddha, Kristen (Katholik dan Protestan) dan kepercayaan- kepercayaan lokal, termasuk penganut agama Kong Hu Cu).

Peletakan sila Ketuhanan YME ini mengandung konsekwensi pada penerapan sila-sila yang lain, yang sebagian besarnya dicerap dari ide-ide modern yang berkembang di Barat dan tidak terlalu dikaitkan dengan ajaran agama. Di Indonesia ide-ide itu dengan sendirinya harus dikembangkan pula sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang dipeluk sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan demikian agama-agama yang telah ada dan wujud sebelum berdirinya NKRI diakui sebagai bagian dari realitas sosial budaya dan sosial politik bangsa Indonesia.

PANCASILA, REFORMASI DAN CITA-CITA MASYARAKAT MADANI
Salah satu cita-cita kultural gerakan Reformasi yang penting dan relevan untuk membangun masa depan masyarakat Indonesia yang majemuk ialah terbentuknya civil society, yang sering diterjemahkan menjadi ?masyarakat kewargaan? atau ?masyarakat madani? (selanjutnya MM). Dalam masyarakat yang demikian kebudayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat kita yang majemuk, diharapkan memainkan peranan dalam memajukan masyarakat, memperbaiki kondisi dan kualitas hidupnya, serta mengangkat martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Hukum dijunjung tinggi dan dipatuhi sebagai balasan terhadap perlindungan dan keadilan yang diberikan negara kepada masyarakat.

Penganut agama dan etnik yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan, tidak ada diskriminasi dalam kehidupan ekonomi, politik, hukum dan pendidikan. Sejarah dan kebudayaan masing-masing juga dihargai sebagai bagian dari sejarah dan kebudayaan nasional. Sebagaimana difirmankan dalam al-Qur`an, ?Kalian dicipta berkaum-kaum untuk saling mengenal satu dengan yang lain?.

Masyarakat yang demikian dapat terbentuk apabila ada upaya dan kemauan politik yang sungguh-sungguh dari negara dan komponen-komponen masyarakat yang mendukung negara.

Di Indonesia wacana masyarakat madani dirasakan penting pada akhir 1980an dan awal 1990an. Dikenalnya wacana ini secara agak luas bersamaan dengan bangkitnya organisasi-organisasi sosial dan LSM-LSM yang aktif membina jaringan-jaringan komunitas pembangunan dengan tujuan memberdayakan masyarakat dalam sektor kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya. Dikenalnya wacana ini pula bersamaan dengan kebangkitan Islam Kultural dengan tujuan yang hampir sama. Kebangkitan Islam Kultural ini antara lain ditandai dengan berdirinya ICMI, Bank Muamalah dan diselenggarakannya Festival Istiqlal I dan II, untuk menyebut beberapa contoh yang dikenal luas oleh masyarakat.

Pemahaman terhadap pentingnya masyarakat madani tidak dapat dilepaskan dari keinginan menjadikan negara dan pembangunan yang dilaksanakan atas nama negara itu tidak asing bagi masyarakat dan masyarakat tidak merasa dipinggirkan oleh pembangunan, bahkan dapat berperan serta dan ikut mengambil inisiatif dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dan berbangsa.

Jika dikaji secara mendalam terdapat beberapa hal yang melatari munculnya wacana atau diskursus ini. Selain hasrat pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan komunitas (community development), dapat disebutkan di sini antara lain ialah:

Pembebasan masyarakat dari akibat buruk pendekatan pembangunan Orde Baru, yaitu pendekatan top down and tricle down effects dan pendekatan teknokratis. Pendekatan ini dilakukan untuk mensukseskan pembangunan ekonomi dan penyebarluasan budaya materialisme. Penekanan pada pembangunan ekonomi dan penyebarluasan budaya materialisme, sebagaimana terbukti di negeri lain di luar Indonesia, memperlihatkan bahwa masalah etika dan estetika diabaikan.

Menghindar dari paradigma ideologi asas tunggal Demokrasi Pancasila, yang
antara lain bertitik tolak dari pandangan bahwa negara dan bangsa Indonesia tidak sama dengan negara dan bangsa lain, begitu pula demokrasi yang diterapkannya. Paradigma masyarakat madani sebaliknya bertolak dari pengakuan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi pada dasarnya universal, meskipun setiap negara punya sistem dan cara pelaksanaan berbeda. Begitu pula kita harus mengakui bahwa sistem pemerintahan yang baik tidak dijalankan secara monolitik dan otoriter, melainkan secara demokratis, penuh keadilan dan tidak memihak golongan atau lapisan tertentu masyarakat.

Selama 40 tahun di bawah rezim Sukarno dan Suharto kita merasakan betapa dengan sistem pemerintahan semacam itu, negara tampil tidak lagi sebagai lembaga pemerintahan yang adil, ramah dan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif dan menyenangkan bagi tumbuhnya kreativitas, kesejahteraan dan kemajuan. Bahkan di bawah kedua rezim pemerintahan yang sentralistik dan otoriter itu negara menjadi asing bagi masyarakat dan masyarakat asing bagi negara. Keduanya melahirkan negara kekeluargaan yang paternalistik dan penuh mitos serta kultus. Ini menyebabkan perbedaan pendapat dianggap tabu, oposisi ditindas, KKN dianjurkan dan didorong tumbuh, sehingga lahirlah oligarki, oligapoli dan monopoli dalam berbagai lapangan kegiatan, khususnya ekonomi dan perdagangan.

Karena itu mau tak mau cita-cita akan masyarakat madani harus dihubungkan
dengan dorongan untuk membebaskan diri dari pemikiran Orde Baru yang totaliter dan hegemonik. Pemikiran rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru yang totaliter dan hegemonik membuat masyarakat kehilangan jaminan serta dukungan hukum dan politik dalam upaya pemerintah membentuk komunitas bangsa yang menghargai kemajemukan, perbedaan pendapat dan pandangan hidup. Negara juga tidak pernah memberi jaminan dan dukungan jelas bagi tumbuhnya tatanan sosial politik yang demokratis. Begitu pula tidak ada upaya sungguh-sungguh membangun struktur kehidupan ekonomi yang adil dan memihak kepentingan rakyat.

(4) Meluruskan kembali makna bahwa ?persatuan? bukan ?penyeragaman? dan ?kesatuan? bukan ?keseragaman? (budaya, ideologi politik). Selama 40 tahun kita juga melihat lemahnya usaha menciptakan suasana kultural dan ideologis yang dapat membawa komunitas bangsa Indonesia menjadi sebuah masyarakat madani, yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Persatuan dan kesatuan ditafsir sebagai penyeragaman dan keseragaman. Penyeragaman dilakukan dengan membangun kekuasaan birokrasi, sehingga memperlemah kepemimpinan lokal dan nasional di luar jalur birokrasi. Campur tangan birokrasi dalam kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya terlalu dalam, melumpuhkan kreativitas dan wibawa kepemimpinan non-formal. Berbagai lembaga dan organisasi sosial, termasuk partai politik, tidak lebih merupakan perpanjangan tangan penguasa.

Didukung oleh hasrat hegemonik dan dominasi maka segala bentuk ekspresi dan
hasrat untuk berbeda dan menyimpang dari pendapat dan pandangan resmi pemerintah, pasti akan ditindas dan dicap subversif. Malah pemerintah siap dengan tuduhan seperti makar, mendongkel pemerintah yang sah, separatisme dan pengacau keamanan. Aspirasi daerah dihancurkan secara sistematik, di samping dikeruk dan digarong kekayaannya. Sebaliknya masyarakat yang menjadi korban penindasan negara berpendapat bahwa semboyan Persatuan dan Kesatuan, Stabilitas dan Keamanan tidak lebih sebagaiLambang penindasan negara yang sentralistik. Pembangunan lantas menjadi mitos atau dongeng, semacam kisah Ki Dalang untuk menyenangkan publik, dan pemimpin sebagai Ki Dalang yang mengatur skenario cerita berdiri sebagai sosok yang siap dikultuskan.

Karena itu kita juga harus membebaskan diri dari negara birokrasi yang feodalistis untuk membangun masyarakat yang berkedaulatan rakyat. Negara yang tergantung pada birokrasi akan kehilangan daya hidupnya. Bahkan negara semacam itu tidak lebih sebagai sumber konflik, disintegrasi dan kekerasan, karena ia telah menabur benih konflik, kebencian dan pembangkangan. Tetapi ada sumber konflik dan disintegrasi lain yang timbul dari pemerintahan yang sentralistik dan hegemonik. Sumber konflik dan disintegrasi itu datang dari pembangunan ekonomi dan budaya materialisme.

Selama ini pembangunan ekonomi dan industri telah membuat terciptanya daerah-daerah perkotaan dan urban baru. Sebagaimana di kota-kota yang tumbuh besar, di tempat-tempat seperti itu tumbuh komunitas lokal yang majemuk. Komunitas-komunitas lokal yang kian majemuk seperti Batam, Sambas, Ambon, Kupang dan lain-lain itu tumbuh karena adanya arus perpindahan penduduk atau mobilitas demografis. Ada perpindahan yang berlangsung melalui program transmigrasi, ada yang terjadi secara spontan.

Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon.

Selama birokrasi pemerintah pusat kuat, yaitu ketika Orde Baru berkuasa, kemungkinan terjadinya konflik etnik dan antar agama seperti di Sambas, Kupang, Ambon, Maluku dan lain-lain dapat dicegah. Tetapi kita tidak dapat mengingkari bahwa salah stau faktor penyebabnya ialah kecemburuan dan kesenjangan sosial. Perlakuan berlebihan dari birokrasi terhadap kelompok tertentu, juga bisa memicu konflik, apalagi disarati oleh kepentingan politik dari elit politik yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan.

Contoh terbaik ialah di Sambas: suku Dayak yang mandeg dalam mobilitas ekonomi harus berhadapan dengan kenyataan pahit. Mereka terjepit antara penguasaan HPH dan gerak maju para pendatang suku Madura. Ketika kekuasaan pusat masih kuat, konflik dapat dikendalikan. Namun ketika pemerintahan pusat tumbang, diikuti hancurnya birokrasi di daerah yang merupakan perpanjangan kekuasaan di pusat, maka konflik etnik pun meledak. Konflik diikuti oleh dendam berkepanjangan. Kapankah Muslim Ambon bisa hidup rukun lagi dengan Kristen Ambon? Kapankah masyarakat berbeda etnik di Sambas kembali harmonis?

(6) Kita juga menggugat pandangan bahwa negara di atas segala-galanya, padahal negara didirikan untuk membangun tatanan kehidupan sosial dan politik berkedaulatan rakyat. Selama ini kekuasaan negara (baca penguasa) sedemikian mutlaknya, dan tidak ada yang lebih penting selain penguasa. Padahal Mukadimah UUD 45 secara ideologis meletakkan asas berdirinya negara Indonesia sebagai berikut: (a) Negara didirikan untuk mempertahankan bangsa dan tanah air; (b) meningkatkan kesejahteraan rakyat; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; (d) ikut serta dalam mempertahankan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan. Dijumpai pula dalam mukadimah UUD 45 pernyataan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan perjuangan bangsa Indonesia berhasil membentuk negara merdeka berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Dari situ jelas bahwa negara Indonesia bukan warisan nenek moyang, atau satu dua pemimpin, dan juga bukan sekadar kelanjutan kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Aceh Darussalam atau Mataram. Tetapi sebagai hasil perjuangan bangsa secara keseluruhan pada abad ke-20.


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkanproses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Namun dalam empat hal inilah yang tidak pernah dipenuhi oleh pemerintahan Orde Baru.

Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ?Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa? dan ?bhinneka tunggal ika? masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah.[]

Tidak ada komentar: