Selasa, 03 Juni 2008

Pandangan Hidup Bangsa Tersingkirkan

Jika sejarah awal munculnya multikultur sebagai sebuah gerakan yang hadir akibat dilantunkannya suara-suara minoritas atau budaya-budaya yang terpinggirkan. Saat inipun multikultural dapat dikatakan masih berkutat dengan isu-isu tersebut. Hak-hak budaya lokal dan kaum terpinggirkan yang seringkali tidak diakui sebagai bagian dari budaya bangsa adalah wilayah kerja utamanya. Meskipun demikian lingkup kerja gerakan ini semakin beragam dengan semakin banyaknya suara-suara kecil yang ingin diperjuangkan. Budaya sebagai budaya, tak lagi menjadi isu sentral dalam gerakan ini.

Sesuai perkembangan jaman, budaya yang sering diartikan sebagai daya cipta, karsa, dan karya manusia—dalam artian positif— mengalami dekandensi pemaknaan. Hampir semua yang dapat dihasilkan oleh manusia, saat ini bisa diketegorikan sebagai budaya. Padahal hal ini tentu mendistorsi nilai dasariah awal budaya itu sendiri. Budaya yang dahulu diidentikkan sebagai pancaran dari nilai-nilai yang “baik” telah dirubah menjadi sosok yang lebih beragam dan berwarna.

Hampir selalu, yang menjadi acuan untuk menilai satu budaya yang baik itu seperti apa, subjektifitas dalam kelompok atau bangsa akan selalu hadir. Baik dan buruk dapat dilihat dari kacamata masing-masing, tergantung siapa yang melihat. Bisa saja baiknya nilai budaya satu kelompok itu dianggap buruk nilai. Dan kebalikan dari itu, buruknya nilai budaya satu kelompok bisa saja menjadi satu nilai yang baik menurut yang lain. Budaya seks bebas misalnya, oleh mereka yang menganggap seks bebas sebagai sesuatu yang biasa, tentu budaya seks bebas dapat menjadi baik. Padahal, pada umumnya budaya seks bebas ini memiliki nilai hakiki buruk di dalam dirinya. Kenyataan inilah yang akhirnya membawa nilai baik dalam budaya itu menjadi relatif.

Kerelatifan nilai baik dalam budaya inipun tak Kerelatifan nilai baik dalam budaya inipun tak hanya bersinggungan dengan budaya dari hasil perilaku manusia pada umumnya. Budaya sebagai satu pandangan hidup bersamapun tak mampu membendung gelombang ini, tak terkecuali Pancasila sekalipun.


Bangsa ini pasti ingat betul bagaimana Pancasila pada masa-masa pra-reformasi, dijunjung-junjung dan diagung-agungkan. Di masa Soekarno—meskipun diduakan—Pancasila masih merupakan pandangan hidup bangsa, sebagai satu kaidah dengan nilai-nilai baik yang dapat dijadikan pegangan. Hampir semua setuju bahwa Pancasila adalah baik. Sedangkan di masa Soeharto, Pancasila mendapatkan tempat suci di dalam diri bangsa ini. Tempat suci itu menjadikannya sebagai satu pandangan hidup dengan nilai-nilai baik secara “mutlak”. Hingga apa-apa yang tidak sesuai dengannya harus menjadi entitas-entitas diri yang terbuang.

Paska reformasi, Pancasila mendapatkan dirinya dalam kontraposisi dengan dirinya pada masa-masa sebelumnya. Pancasila pelan tapi pasti, semakin menyingkir dari gegap gempita kehidupan bangsa Indonesia. Disadari atau tidak, Pancasila mulai mati suri sejak reformasi bergulir. Bangsa ini menjadi apatis terhadap Pancasila.Kevakuman pandangan hidup bersama ini membawa dampak yang bisa dikatakan tidak baik. Pertama, kekosongan ini menjadikan suara-suara minoritas yang dulunya terkekang, mulai muncul kepermukaan. Padahal bila dibiarkan, suara-suara minoritas yang semakin vokal akan menimbulkan kebebasan yang keblabasan. Setiap kelompok merasa berhak untuk melakukan apa yang dirasa menjadi hak mereka. Hak-hak itu diumbar dengan tanpa melihat kewajiban yang ada karena hak tersebut. Kebebasan inilah yang sekarang menjadi kebebasan yang tak berarah. Dan tentunya ini sangat riskan dalam upaya menegakkan kembali bangsa ini.

Kedua, dengan “tiadanya” Pancasila, maka benih-benih perpecahanpun akan semakin nampak. Meskipun Pancasila sebagai hasil upaya manusia, namun karena pengupayaannya didasarkan keragaman bangsa indonesia, di dalam perbedaan itu posisi Pancasila sangatlah vital. Uniknya keberagaman di dalam Indonesia memerlukan sesuatu yang dapat mengikat keberbedaan itu dengan tanpa merendakan yang lain. Pancasila hadir bukan atas nama satu kelompok. Pancasila ada karena menaungi keberagaman dalam bangsa ini.

sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/1702566-pandangan-hidup-bangsa-terpinggirkan/

Tidak ada komentar: